Jumat, 18 Maret 2011

Ada Apa Dengan Nono?

Pagi hari, saat matahari belum memencarkan sinarnya terlihat lelaki tampan yang berjalan kaki menuju depan gang rumahnya yang berjarak 500 meter dari rumahnya. Wajahnya terlihat ceria tanpa beban, ia sangat semangat untuk menjalani hari ini. Senyum selalu terpampang di wajahnya, tapi tak sedikit orang yang menganggapnya sedikit gila karena sering tersenyum. Ia segera menaiki angkutan umum karena takut terlambat, padahal saat itu masih pukul setengah enam pagi. Nono, begitulah panggilan akrabnya yang selalu mengawali pagi harinya dengan ceria dan semangat.
Tepat pukul enam pagi Nono tiba di sekolah, hanya sedikit murid yang baru datang. Nono segera masuk ke kelas dan menarik nafas panjang.
“Lho, kenapa hanya aku yang baru datang?” kata Nono.
Dari belakang pintu terlihat Jaja, sahabat Nono. Ia terlihat meletakkan sapu dan kemoceng pada gantungan yang ada di belakang pintu.
“Hey! Ada gue disini, masa lo kagak ngeliat gue. Badan gue kayak gajah begini kagak keliatan?” kata Jaja, dengan logat Jakartanya yang masih kental.
“Ya maaf, Ja. Manusia kan juga punya salah.” kata Nono.
“Iye, iye. Gue cuma bercanda, hehehehe.” jawab Jaja.
Matahari pun mulai terlihat bersinar, para murid pun mulai berdatangan. Tapi, ada satu yang menarik perhatian Nono, yaitu Rhea. Cewek cantik, pintar dan baik hati yang sekelas dengan Nono ini terlihat murung karena laptopnya rusak. Nono berkata dalam hati.
“Walaupun kamu murung, kamu masih tetap cantik. Hanya kamu yang bisa menarik perhatianku.” batinnya.
Nono terlihat melamun dan senyum-senyum sendiri. Jaja yang merasa aneh mulai memanggil nama Nono berkali-kali. Nono tidak sadar juga, akhirnya Jaja menghampiri Nono dan menepuk bahu Nono.
“Nono!! Gimana sih lo, katanya lo nggak mau ketauan kalo lagi ngeliatin Rhea. Nah, sekarang lo tambah ngelihatin Rhea seserius itu. Gimana sih lo?” tanya Jaja.
“Iya, Ja! Maaf. Aku lupa” jawab Nono.
“Ah kebiasaan, maaf-maaf melulu. Dari pada kelamaan lo begini, mending langsung aja lo tembak si Rhea. Kan enak tuh, jadi kalo lo ngliatin Rhea, lo bisa bebas.” kata Jaja.
“Trus aku harus ngomong apa kalo nembak dia?” tanya Nono.
Jaja berpikir sejenak dan mencoba mengolah kata-kata yang lebih baik, agar Sarah bisa menerima Nono.
“Gue udah ngerti! Ntar aja ye gue ngomongnye. Soalnya ntar lagi masuk.” jawab Jaja.
Jam pelajaran mulai jam pertama hingga jam ketujuh berjalan dengan lancar, dan bel pulang berbunyi. Anak-anak pulang dan beristirahat agar besok kembali sekolah dengan semangat yang baru.
Malam harinya Nono mengirim pesan singkat melalui SMS ke Rhea. Tanpa membuang waktu, Nono langsung melakukan rencana awal yang sudah ia siapkan bersama Jaja. Handphone Rhea berdering tanda SMS masuk dan ternyata itu SMS dari Nono.
"Rhe, aku mau bicara sesuatu ke kamu?"
Dengan cepat Rhea membalas pesan singkat itu.
"Kamu mau bicara apa?"
Nono membalas pesan itu dengan gemetar dan ia mengirimnya dengan tutup mata agar tidak terlalu deg-degan.
"Rhe, kamu mau nggak jadi pacarku?"
Nono menunggu balasan itu, lama sekali. Akhirnya satu jam kemudian Rhea membalas SMS Nono.
"Maaf, bukannya aku nggak suka kamu. Tapi maaf banget, aku nggak bisa."
Nono pun menerimanya dengan lapang dada. Tapi, lama kelamaan Nono mulai berubah, ia menjadi pemurung. Ia menjadi semakin dekat dengan Jaja. Kemana-mana selalu bersama. Banyak anak berpikir kalau mereka itu ‘HOMO’.
Hingga pada suatu hari ada teman sekelas Nono bernama Dela dan Dista memberanikan diri mengatakan pada wali kelas mereka jika Jaja dan Nono kalau bermain itu berlebihan. Tetapi, mulai ada kesalahpahaman di situ. Akhirnya guru itu bertanya pada Nono dan menyarankan Nono agar ia tidak dekat-dekat dulu dengan Jaja maupun teman laki-laki lainnya.
Keesokan harinya Nono tidak masuk sekolah. Semua anak bertanya-tanya. Nono pun mengirimkan pesan singkat di Facebook, yang berisikan caci makian kepada semua anak di kelasnya. Ada juga yang mengatakan bahwa Nono mencoba bunuh diri.
Di saat itu juga Dista menangis karena ia merasa bersalah, akhirnya beberapa anak datang ke rumah Nono. Di tengah hujan lebat, jarak rumah 5 kilometer, mereka berjalan menuju rumah Nono. Sesampai di rumah Nono, Dista tidak mau masuk karena ia merasa bersalah dan takut jika diusir dari rumah Nono. Akhirnya ada teman Dista yang meyakinkan bahwa keadaan pasti akan terkendali, Nono tidak akan mengusir Dista karena melihat perjuangan Dista dan kawan-kawannya yang berjalan ke rumahnya.
Setelah masuk di rumah Nono, keadaan menjadi hening. Nono mulai menjelaskan kronologinya. Semua anak mulai minta maaf pada Nono. Semuanya mengucap kata damai, termasuk Nono. Jaja yang ikut pun mengatakan
“Udahlah, No. Nggak usah mikirin cinta-cintaan dulu, gara-gara ditolak lo jadi kayak begini. Kalo lo begini terus, itu bisa mempengaruhi nilai lo!” kata Jaja.
Nono menerima saran itu tetapi sebenarnya Nono tidak berubah gara-gara cinta, Nono hanya diam dan tidak berkata-kata. Didalam hatinya Nono hanya merasa bersalah karena ia merahasiakan semua yang terjadi hingga berakhir kesalahpahaman. Keesokkannya di sekolah saat jam kosong kerabat Nono membawa berita. Seketika semuanya tak percaya dengan berita tersebut. Jaja juga yang tidak percaya langsung pergi ke rumah Nono untuk membuktikan. Sebuah keranda putih bertaburan bunga berada di depannya, seketika itu pula hujan tanpa henti membasahi pipinya.
--------------


Nuraini Safitri (7c/18)


Ini cerpen Fitri waktu masih kelas 7, dulu disuruh Mbak Ratih (pembina jurnal) buat bikin cerpen minimal 3 halaman di kertas A4 font-nya pake Times New Roman ukuran 12. Trus waktu selesai dibaca Mbak Ratih, ada yang harus di ubah di paragraf akhirnya dan inilah hasil ubahannya yang sudah kamu baca. (Maaf ya cerpennya jelek, maklum dulu permulaan bikin cerpen waktu kelas 7 hehehe.. :D)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar